kartikanews.com — Poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan menurut undang-undang. Perihal poligami pun diatur dengan ketat melalui sejumlah peraturan lain. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi jika ingin melakukan poligami.
Dasar hukum poligami di Indonesia
Berbagai hal terkait perkawinan, termasuk poligami, diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.
Menurut undang-undang ini, pada dasarnya, dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Begitu juga sebaliknya. Meski demikian, UU Perkawinan membolehkan dilakukannya poligami jika memang diinginkan dan dibolehkan oleh pihak terkait.
Pasal 3 Ayat 2 berbunyi, “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Bagi yang beragama Islam, ketentuan mengenai poligami diatur lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Mengacu pada KHI, suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Aturan ini pun membatasi seorang suami hanya boleh berpoligami sampai empat istri pada waktu bersamaan.
Bagi orang yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan ingin berpoligami, terdapat pula aturan tambahan yang harus dipatuhi. Dasar hukum untuk melakukan poligami bagi PNS tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 4 Ayat 1 berbunyi, “Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.”
Syarat poligami menurut hukum yang berlaku
Menurut UU Perkawinan, pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
- istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
- istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
- istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi, yakni:
- adanya persetujuan dari istri/ istri-istri,
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka,
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Persetujuan ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Selain itu, persetujuan juga tidak dibutuhkan jika tidak ada kabar dari istrinya selama minimal dua tahun atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Secara garis besar, syarat poligami yang ada pada UU Perkawinan tertuang juga dalam KHI dan PP Nomor 45 Tahun 1990. Namun, KHI menyebut, syarat utama untuk poligami adalah suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Jika syarat utama ini tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.
Sementara itu, bagi PNS, ada juga syarat kumulatif yang seluruhnya harus dipenuhi, yaitu:
- ada persetujuan tertulis dari istri,
- PNS pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan,
- ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Izin untuk beristri lebih dari seorang tidak akan diberikan jika:
- bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut PNS yang bersangkutan,
- tidak memenuhi syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif,
- bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
- alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat,
- ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
sumber: kompas.com