Rabu, 21 April 2021

Ilustrasi. Bitcoin jadi modus baru cuci uang di kasus korupsi. (iStockphoto/skodonnell)

kartikanews.com — Tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi dan keuangan PT Asabri (Persero) diduga melakukan tindakan pencucian uang lewat transaksi bitcoin.

Bitcoin adalah mata uang kripto yang menggunakan teknologi peer-to-peer (P2P) untuk beroperasi, tanpa otoritas pusat atau bank sentral seperti mata uang sebuah negara pada umumnya.

Pengeluaran dan pengelolaan transaksi bitcoin dilakukan secara kolektif oleh sebuah jaringan, sehingga didesain bersifat publik, tidak ada yang memiliki atau mengontrol bitcoin, dan semua orang dapat mengambil bagian transaksinya.

Dalam kasus Asabri, penyidik Kejaksaan Agung telah memanggil sejumlah pihak yang berkaitan dengan transaksi bitcoin di Indonesia, salah satunya Direktur PT Indodax Nasional Indonesia berinisial OAD.

Indodax merupakan perusahaan dagang aset kripto yang sudah terdaftar dan legal menurut Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Penyidik hingga saat ini masih menghitung jumlah transaksi yang dilakukan para tersangka melalui bitcoin.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Eka Nanda Ravizki menyatakan, cuci uang lewat transaksi bitcoin merupakan modus yang terbilang baru dalam kasus tindak pidana korupsi.

Menurut dia, modus itu, sebelumnya telah lazim digunakan dalam kasus pendanaan terorisme maupun kasus transaksi jual beli narkoba.

“Sebenarnya penggunaan bitcoin atau virtual currency itu adalah modus yang sering digunakan untuk mencuci uang dalam kasus pendanaan terorisme dan transaksi jual beli-narkotika,” kata Eka saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (20/4).

Ia mengatakan modus itu lazim digunakan lantaran terorisme dan narkotika merupakan tindak kejahatan yang membutuhkan pendanaan atau transaksi keuangan bersifat ‘siluman’ sehingga tak terdeteksi.

Dalam kasus tindak pidana korupsi, ia menyebut modus cuci uang lewat transaksi bitcoin mulai dilakukan seiring perkembangan teknologi yang memudahkan pelaku kejahatan menyamarkan aset.

“Memang modus ini mulai lazim digunakan untuk cuci uang kasus korupsi, mengingat perkembangan IT sehingga lebih mudah melakukan modus ini. Berbeda dengan dulu, yang butuh pengetahuan IT yang advance,” kata dia.

Eka berpendapat, modus ini cukup efektif untuk menyembunyikan aset hasil kejahatan, lantaran model pengoperasian bitcoin yang didesain tanpa otoritas pusat atau bank sentral dan konsep blockchain.

“Sangat sulit untuk dideteksi karena teknologi blockchain yang ada di bitcoin atau virtual currency lainnya itu membuat orang dapat melakukan transaksi anonim, cepat dan fleksibel, tanpa harus melalui financial institution semisal bank,” jelas Eka.

Meski sulit dideteksi, ia menilai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa menelusuri walau tidak bisa menindak.

Ia mencontohkan kasus bom Sarinah pada 2016, PPATK mengetahui ada aliran virtual currency ke Indonesia untuk pendanaan terorisme.

“Jadi untuk tracking, saran saya, penegak hukum harusnya ajak PPATK kerja sama,” ujar dia.

Dihubungi terpisah, doktor hukum bidang pidana pencucian uang Yenti Garnasih berpendapat serupa. Menurutnya, modus cuci uang lewat bitcoin merupakan hal baru di Indonesia.

“Sepertinya itu baru, tapi sebetulnya semua harus diantisipasi. Rasanya belum pernah dilakukan di Indonesia,” kata dia.

Ia mengatakan untuk mengikuti modus kejahatan yang terus berkembang seiring zaman, profesionalitas penegak hukum harus terus ditingkatkan.

“Tinggal sekarang bagaimana cara pemantauan lembaga yang menyelenggarakan bitcoin, bisa ada sistem know your customers,” ucap dia.

sumber: cnnindonesia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

+ 13 = 16