Sabtu, 12 Oktober 2019

Sejumlah massa Aksi 22 Mei terlibat kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019). Aksi unjuk rasa itu dilakukan menyikapi putusan hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2019. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

kartikanews.com–Ombudsman Republik Indonesia telah merampungkan rapid assesment terkait unjuk rasa dan kerusuhan pada 21-23 Mei 2019 lalu. Hasilnya, Ombudsman RI menemukan tindakan maladminstrasi yang dilakukan Polri dalam menangani unjuk rasa dan kerusuhan tersebut. 

Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu menyatakan, temuan maladministrasi tersebut mesti menjadi masukan bagi Polri karena tindakan maladministrasi itu menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

“Ombudsman minta jangan lagi terulang lagi penanggulangan demo dan kerusuhan seperti ini sampai jatuh korban luka bahkan meninggal dunia,” kata Ninik dalam konferensi pers, Kamis (10/10/2019).

Ninik menuturkan, ada empat hal yang menjadi sorotan dalam laporan rapid assesment yang disusun Ombudsman terkait penanganan unjuk rasa dan kerusuhan 21-23 Mei 2019. Keempat poin tersebut adalah tindakan yang tidak kompeten, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang dan tindakan tidak patut. Salah satu contoh tindakan maladministrasi itu adalah temuan Ombudsman di mana polisi tidak mengedepankan pertolongan terhadap korban luka di lokasi kerusuhan.

“Ketika ada korban, bukan peran dan fungsi itu yang dilakukan, karena dari korban-korban dikirimkan yang mengantar justru masyarakat sipil, tukang ojek, keluarga korban, dan sebagainya, meskipun di situ ada aparat,” ujar Ninik.

Di samping itu, Ombudsman juga menilai, polisi telah melanggar prosedur dalam menangani anak-anak berhadapan dengan hukum dalam kasus tersebut. Pasalnya, anak-anak berhadapan dengan hukum itu tidak ditangani oleh penyidik dari unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) sebagaimana telah diatur oleh peraturan kapolri maupun Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Sembilan orang anak yang dialakukan proses pemeriksaan itu tidak dilakukan di unit PPA tapi dilakukan di resmob. Nah ini kan tentu ada penyimpangan prosedur dan tidak ada dasar yang digunakan,” kata Ninik.

Menurut Ninik, polisi sebelumnya telah membantah tuduhan itu dengan alasan penyidik yang ditempatkan di unit Resmob telah memiliki sertifikasi dalam melakukan penyidikan terhadap anak.

“Tidak ada di dalam perkap maupu di UU SPPA yang menyebut itu, soal kewenangan berdasarkan sertifikasi tetapi berdasarkan unit khusus yang ditunjuk,” ujar Ninik.

Ninik menambahkan, polisi juga tidak bisa serta-merta melakukan penyidikan terhadap anak di luar unit PPA dengan alasan unit PPA yang penuh.

“Harus ada aturan terlebih dahulu misalnya surat penunjukkan dan lainnya dan itu yang tidak kami temukan,” kata Ninik.

Ninik melanjutkan, temuan Ombudsman ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi Polri supaya penanganan unjuk rasa dan kerusuhan tidak lagi menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

“Kami melihat implementasi SOP yang dibuat dan dilakukan oleh Polri di lapangan dan dampak yang terjadi, masih ada perlu pembenahan yang tentu saja memerlukan komitmen dan kerja keras para Pimpinan Polri,” kata Ninik.

Temuan maladministrasi tersebut sedianya diserahkan kepada Polri pada Kamis kemarin. Namun, Polri yang diwakili Inspektur Pengawas Umum Komjen Moechgiyarto tak mau menerimanya meski sudah bertemu dengan Ombudsman.

“(Temuan maladministrasi) sudah kami sampaikan tadi, meskipun demikian insititusi kepolisian dalam hal ini dipimpin langsung Pak Irwasum menolak menerima hasil rapid assesment ini,” kata Ninik.

Ninik mengatakan, pihak kepolisian menolak hal tersebut karena merasa Ombudsman tidak berwenang melakukan investigasi dalam hal penegakan hukum.

“Penolakan ini menjadi catatan sebagai sebuah institusi yang memberikan pelayanan publik konteks penegakan hukum dalam tanda kutip tidak mau diawasi kinerjanya dalam rangka menjalankan perintah undang-undang,” kata Ninik.

Atas hal itu, Ombudsman berencana menyerahkan hasil rapid asessment dan temuan maladministrasi itu kepada Kapolri Jenderal (Polisi) Tito Karnavian selaku pemegang jabatan tertinggi di Polri. Bila Tito tidak juga menerima laporan Ombudsman, maka Ombudsman akan menyerahkan laporan itu kepada Presiden dan DPR untuk ditindaklanjuti.

“Kepolisian kan eksekutif, siapa atasannya? Presiden. Tentu laporan akan kami teruskan ke presiden dan DPR karena memang harus demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada Ombudsman,” ujar Ninik.

Di samping itu, Ombudsman meminta Polri segera membuka hasil investigasi serta mengungkap penyebab kerusuhan dan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

“Kepolisian kan membentuk tim. Nah hasilnya ini yang kami tunggu. Apa yang menjadi sebab kematian? Apa yang menjadi sebab adanya kerusuhan? Apa yang menjadi sebab hilangnya senjata? Itu tugas tim investigasi,” kata Ninik.

Selain membuka hasil investigasi, Ombudsman juga meminta anggota Polri yang terbukti melanggar prosedur serta melampaui kewenangannya diproses secara hukum.

“Kalau membentuk tim investigasi lalu masyarakat tidak tahu, kan terus akan bertanya-tanya. Ini kan mencegah supaya nanti ke depan tidak demikian,” kata Ninik.

Menurut Ninik, jatuhnya korban jiwa pada rangkaian unjuk rasa dan kerusuhan 21-23 Mei 2019 lalu tak lepas dari tindakan maladminitrasi yang dilakukan polisi.

“Kami menemukan itu ada, yang secara adminiatratif mestinya tidak hilang, mestinya tidak meninggal, begitu lho. Silakan kemudian nanti kepolisian yang melakukan pendalaman,” ujar dia.

Seperti diketahui, kerusuhan terjadi di sejumlah titik di Jakarta pada 21-23 Mei 2019 lalu seiring dengan aksi unjuk rasa di depan Kantor Badan Pengawas Pemilu. Pihak Kepolisian mencatat ada sembilan orang korban jiwa dalam rangkaian kerusuhan tersebut.

sumber : nasional.kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

41 + = 45