Jumat, 08 November 2019

Jaksa Agung ST Burhanuddin besama pejabat Kejaksaan Agung saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019). Foto/SINDOnews/Kiswondari

kartikanews.com–Jaksa Agung ST Burhanuddin memaparkan tentang perubahan aturan terkait hukuman mati. Salah satunya penundaan eksekusi bagi terpidana yang mengalami sakit jiwa.

Kendati demikian, penundaan bisa dilakukan dengan syarat adanya pembuktian secara medis.

“Pelaksanaan eksekusi pidana mati terdapat beberapa perubahan ketentuan,“ kata Burhanuddin dalam pemaparannya di Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Burhanuddin menuturkan, perubahan pertama, yakni permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana. Kecuali, dalam hal putusan pidana mati dengan demikian, ketentuan tersebut menjadi sia-sia.

Kedua, mengacu Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer.

“Berkaitan dengan berbarengan dengan tindakan pidana maka tidak dapat dilaksanakan eksekusi pidana mati terlebih dahulu sebelum pelaku lainnya divonis hukuman mati. Yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht),” ujarnya.

Burhanuddin menjelaskan, kejaksaan mempertimbangkan penundaan apabila terpidana mati yang putusan pengadilannya sudah inkracht namun ada pelaku lainnya juga divonis pidana mati masih berjuang dalam perkara yang sama melalui upaya hukum banding atau bahkan sampai kasasi.

Lalu ternyata putusan akhir mengubah vonis pidana mati, mengingat mereka terlibat dalam perkara yang sama dan hanya penuntutannya yang beda.

“Tentunya dampak putusan itu pula perhitungan keterkaitan kepada terpidana mati yang sudah dulu inkracht perkaranya,” terangnya.

Ketiga, dia melanjutkan, dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati harus mempertimbangkan kondisi kejiwaan terpidana mati. Kejaksaan berpendapat terpidana mati yang sedang sakit jiwa tidak dapat dilakukan ekeskusi mati.

Guna mencegah adanya kesengajaan menunda eksekusi terpidana mati dengan alasan sakit kejiwaan, kata Burhanuddin, harus didukung oleh keterangan medis yang menunjukan bahwa terpidana mati sakit kejiwaanya.

Terakhir, dia menambahkan, terdapat perubahan regulasi terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) maupun grasi karena adanya perbedaan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Surat edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 menyebutkan PK hanya diperbolehkan satu kali. Tetapi, dalam putusan MK, PK bisa lebih dari satu kali dengan pertimbangan hak asasi manusia.

“Itu akan menjadi sedikit problema bagi kami untuk melaksanakan ekeskusi mati. Karena apa? Para terpidana mati yang sudah PK satu kali harus dipertimbangkan lagi kalau dia mau PK. Kalau kita tidak tolak PK-nya pasti ada hal-hal yang nanti bila terjadi putusannya yang berbeda dengan putusan yang pertama pasti akan menjadi masalah lain,” jelasnya.

Kejaksaan Agung pada Februari 2015 mengeksekusi Rodrigo Gularte, terpidana mati narkoba asal Brazil yang dinyatakan menderita penyakit jiwa Bipolar dan Schizophrenia. Itu dilakukan karena tidak ada aturan yang melarang eksekusi terhadap penderita gangguan jiwa.

sumber : nasional.sindonews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + 4 =