Senin, 13 Januari 2020
kartikanews.com–Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak berwenang menangani kasus dugaan suap proses PAW (pergantian antar-waktu) anggota DPR yang melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Pasalnya, kasus tersebut nilainya hanya Rp 900 juta. Sementara kewenangan KPK seperti yang diamanatkan dalam UU KPK Pasal 11 nilainya minimal Rp 1 miliar.
“Saya perhatikan KPK tidak menjalankan amanat konstitusi. Sebenarnya banyak kasus yang masuk ke KPK tetapi saya tidak mengerti KPK malah senang dengan OTT yang biayanya jauh lebih besar, tetapi nilai kerugiannya kecil,” kata Pakar Hukum Pidana Prof Mudzakir dalam diskusi polemik Trijaya di Jakarta, Sabtu (11/1).
Mudzakir mencontohkan, dalam satu semester laporan dugaan kasus korupsi yang masuk ke KPK sebanyak 60 ribuan. Namun, yang masuk persidangan hanya bisa dihitung dengan jari.
Ironisnya, KPK tidak melimpahkan dugaan korupsi itu ke Kejaksaan maupun Kepolisian. Padahal sesuai UU KPK, dugaan kasus korupsi dilimpahkan pada dua lembaga tersebut.
“Yang bikin saya terkaget lagi, KPK malah ketagihan dengan OTT dan menyadap meski nilainya kecil. Ini tidak seimbang dengan biaya negara untuk dua operasi tersebut,” terangnya.
Demi kepastian hukum dalam penegakan hukum pidana, lanjut Mudzakir, perlu ada kebijakan tegas. Paling tidak ada tiga berdasarkan Pasal 11 UU KPK.
Pertama, KPK memiliki wewenang menangani perkara pidana korupsi minimal Rp 1 miliar dan penyidik polisi maupun jaksa tidak punya kewenangan menanganinya.
Kedua, KPK tidak memiliki wewenang menangani perkara tipikor yang tidak memenuhi kualifikasi Pasal 11 UU KPK, maka wajib menyerahkan kepada penyidik polisi atau kepolisian.
Ketiga, penyidik polisi dan jaksa tidak memiliki wewenang menangani perkara yang memenuhi kualifikasi Pasal 11 UU Tipikor, jadi wajib melimpahkan ke KPK.
“KPK memiliki wewenang menangani perkara tipikor yang tidak memenuhi kualifikasi Pasal 11 UU KPK, dengan catatan tidak boleh menggunakan wewenang khusus yang bersumber dari UU KPK. Selain itu wajib tunduk kepada hukum acara pidana seperti yang dimiliki polisi dan jaksa,” tandas guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) ini.
sumber : jpnn.com