Rabu, 06 Mei 2020

kartikanews.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Permohonan uji materi itu diterima, pada Senin (4/5/2020).

Runik Erwanto dan Singgih Tomi Gumilang, dua orang yang berprofesi sebagai advokat menguji materi Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan terhadap Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pada permohonan itu, para pemohon mengungkapkan alasan mengapa mengajukan uji materi.

Para pemohon menilai pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak ada kaitannya dengan pelarangan orang ke luar masuk Kota Jakarta yang sedang diberlakukan PSBB.

Menurut pemohon, berlakunya PSBB tidak melarang kantor pemerintah tutup, buktinya jadwal sidang pidana dan perdata di daerah-daerah yang diberlakukan PSBB tetap berlangsung seperti halnya di Jakarta.

Selain itu, pemohon menguraikan, pelarangan transportasi udara dengan dalil PSBB dan masa mudik Idul Fitri sangat merugikan para pemohon.

Seharusnya jika dilihat konteks permasalahan maka seluruhnya pemerintah memberlakukan karantina wilayah, dengan begitu semua aktivitas akan terhenti termasuk jadwal persidangan akan ditunda, sehingga para pemohon tidak perlu repot datang ke Jakarta dan Bali untuk mendampingi klien.

Tetapi, pemerintah khawatir jika diberlakukan karantina wilayah, maka pemerintah pusat harus menanggung semua kebutuhan dasar semua orang di Jakarta, alasan inilah yang membuat pemerintah tidak mau menerapkan karantina wilayah, namun memberlakukan PSBB dan isinya menerapkan karantina wilayah.

“Karena kekhawatiran menanggung kebutuhan hak dasar seluruh warga maka menurut para pemohon kata orang di dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 mengandung ketidakpastian hukum.”

Pemohon menjelaskan, jika pemerintah pusat menerapkan karantina wilayah di DKI Jakarta maka otomatis semua kegiatan aktivitas warga Jakarta dihentikan, begitupun dengan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga harus berhenti, sehingga para pemohon tidak dirugikan sebab persidangan akan ditunda.

Sedangkan berbeda halnya dengan kondisi seperti saat ini, pemerintah memberlakukan PSBB tapi melakukan pelarangan transportasi udara yang hal itu adalah bukan lagi masuk dalam pemaknaan PSBB melainkan pengaturan karantina wilayah.

“Tentu hak konstitusional para pemohon dirugikan, karena tidak bisa mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Negeri Negara Bali,” urai pemohon.

Selain itu, pemohon mengungkapkan kata orang yang bermakna umum, bisa kaya atau miskin, jelas tidak adil.

Makna adil menurut para pemohon bukan berarti semua orang punya hak yang sama, hal ini harus dilihat konteksnya, misalnya dalam hukum maka kaya dan miskin harus diperlakukan sama di mata hukum.

Tapi soal hak mendapatkan santunan dari pemerintah, tentu orang kaya dan miskin tidak bisa mendapatkan hak yang sama. Orang miskin merupakan kewajiban negara untuk menjamin hak dasarnya, sementara orang kaya tidak.

“Maka menurut para pemohon kata orang dalam Pasal 55 ayat (1) tidak mengandung kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945,” kata pemohon.

Atas hal tersebut, para pemohon meminta majelis hakim konstitusi agar:

1. mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya

2. menyatakan Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

3. menyatakan Pasal 55 ayat (1) (sepanjang kata orang) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan harus dinyatakan konsitusional bersyarat dengan makna orang miskin

4. memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

sumber: tribunnews.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

44 + = 48