Selasa, 29 September 2020

Ilustrasi Pilkada(KOMPAS/PRIYOMBODO)

kartikanews.com — Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, Presiden Joko Widodo dapat menunda Pilkada 2020 tanpa melibatkan Komisi II DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun demikian, diperlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang baru terkait Pilkada.

“Kalau Presiden ingin menunda (Pilkada) karena pertimbangan dia yang paling paham soal lapangan terkait kesiapan, apalagi jumlah orang (korban) yang berjatuhan, ya dia harus menabrak ketentuan Perppu (lama) itu dengan membentuk Perppu yang baru,” kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Senin (28/9/2020).

Feri menuturkan, perppu baru dibutuhkan lantaran Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang kini telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 mengatur bahwa keputusan penundaan pilkada harus melalui persetujuan pemerintah, DPR dan KPU.

Pasal 201A ayat (2) UU 6/2020 mengatur bahwa pemungutan suara serentak yang sempat tertunda akibat bencana non-alam akan dilaksanakan pada Desember 2020.

Kemudian, pada Pasal 201A ayat (3) UU 6/2020 disebutkan, dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.

Adapun Pasal 122A ayat (2) menyatakan, penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Menurut Feri, jika Presiden secara sepihak hendak menunda pilkada, maka dalam Perppu baru dapat disebutkan bahwa presiden berwenang menyatakan penundaan Pilkada jika dianggap telah terjadi hal-hal yang dinilai membahayakan orang banyak.

Dengan demikian, ketentuan dalam Perppu lama yang mensyaratkan penundaan Pilkada harus melalui keputusan pemerintah, DPR dan KPU, tidak akan berlaku.

“Kalau memang mau menunda ya keluarkan Perppu yang baru, menunda dalam artian tanpa perlu persetujuan tripartit itu, DPR, pemerintah dan penyelenggara,” ujar Feri.

Feri mengatakan, jika Presiden menilai terdapat hal ihwal kegentingan memaksa yang menyebabkan pilkada harus ditunda, maka Preisden bisa membuat keputusan sendiri dengan menerbitkan perppu. Ketentuan ini telah diatur dalam Undang Undang Dasar 1945.

“Karena itu hak Presiden. (Jika) ada hal unsur ihwal kegentingan yang memaksa dia bisa mengeluarkan Perppu dan mengabaikan ketentuan UU yang lama dengan membentuk pasal-pasal baru di dalam Perppu” kata Feri.

Untuk diketahui, pemerintah bersama Komisi II DPR dan KPU sepakat untuk tetap melanjutkan tahapan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19. Namun demikian, Komisi II meminta agar penerapan protokol Covid-19 dilaksanakan secara konsisten dan pelanggarnya harus mendapatkan sanksi tegas.

Selanjutnya, Komisi II meminta KPU merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 yang mengatur tentang pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi Covid-19.

Revisi PKPU diharapkan mengatur secara spesifik di antaranya soal larangan pertemuan yang melibatkan massa dan mendorong kampanye secara daring. Selain itu, juga mewajibkan penggunaan masker, hand sanitizer, sabun dan alat pelindung diri (APD) lain sebagai media kampanye.

Kemudian, penegakan disiplin dan sanksi hukum tegas bagi pelanggar protokol Covid-19 sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan KUHP. Pilkada 2020 digelar di 270 wilayah, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Masa kampanye Pilkada telah dimulai sejak 26 September dan akan berlangsung selama 71 hari hingga 5 Desember mendatang. Sementara, hari pemungutan suara Pilkada rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember.

sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

49 − = 47