Kamis, 19 November 2020
kartikanews.com — Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Wiwik Budi Wasito menilai kecil peluang gugatan uji formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji formil adalah upaya gugatan terhadap sebuah UU yang pembentukannya dinilai tidak sesuai aturan yang berlaku.
Hal ini berkaca pada sejarah putusan MK yang tidak pernah sekalipun mengabulkan uji formil, meski ada kasus UU dibentuk dengan prosedur yang cacat. Dari 34 putusan uji formil, semua tak dikabulkan dengan berbagai alasan
“Dari sekian banyak puluhan perkara uji formil itu belum pernah ada yang dikabulkan. Faktanya itu,” kata Wiwik kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (18/11).
Wiwik menjelaskan MK seharusnya mematuhi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dalam uji formil UU Cipta Kerja.
Keberadaan UU P3 dinilai akan percuma jika aturan pembentukan UU yang benar tidak diterapkan dengan semestinya.
“Ini sebagai upaya saya untuk memberi satu masukan, pemikiran kepada pihak MK bahwa ada hukum acara, uji formil yang mendasar pada UU P3. Itu yang seharusnya dipatuhi, ditegakkan,” ucapnya.
Sementara dari pengalaman yang selama ini terjadi, lanjut Wiwik, MK cenderung memaklumi apabila ada proses pembuatan UU yang tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Sekarang saya balik pertanyakan. Lah terus apa gunanya ada UU P3 kalau itu kemudian tidak kita patuhi. Padahal UU P3 jadi satu guidance, rel pedoman pembentuk UU,” tuturnya.
Wiwik menilai sikap presiden dan DPR yang tak acuh melibatkan masyarakat dalam pembahasan UU merujuk ke tren uji formil yang tak pernah dikabulkan MK.
Dalam pembahasan UU Cipta Kerja di DPR, partisipasi masyarakat yang dilibatkan dinilai masih sangat minim. Padahal potensi masyarakat yang terdampak beleid tersebut sangat luas.
“Pemerintah dan DPR pastinya juga pahamlah sejarah putusan MK terkait uji formil seperti apa. Mungkin saja DPR dan presiden cukup PD (percaya diri) menjalankan proses seperti sekarang ini,” imbuhnya.
Untuk itu, penting bagi penggugat bisa menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat supaya uji formil kali ini dikabulkan. Sebab, hakim biasanya akan merujuk ke putusan-putusan sebelumnya yang belum pernah mengabulkan uji formil UU Cipta Kerja.
“Kalau memang dalam putusan terbaru berbeda dengan putusan sebelumnya, maka tentu hakim akan menimbang dulu putusan sebelumnya. Di situ akan disebut argumentasi kenapa hakim sekarang berbeda dengan yang terdahulu,” jelasnya.
Sedangkan untuk uji materiil, konsep Omnibus Law yang dalam beleid tersebut membuat kemungkinan pembatalan seluruh UU sulit.
Uji materiil adalah gugatan terhadap substansi atau materi di dalam UU tertentu.
Merujuk pengalaman selama ini, Wiwik mengatakan, ada 11 UU yang dibatalkan MK melalui pengabulan uji materiil. Namun hal ini akan sulit diterapkan pada aturan yang tak hanya meliputi satu UU. UU Cipta Kerja diketahui memuat 78 UU.
“Kalau membatalkan UU kayaknya tidak mungkin, karena UUnya banyak, 78. Sementara persoalan materiil itu spesifik,” tambahnya.
Saat ini ada sejumlah perkara yang tengah diajukan ke MK terkait UU Cipta Kerja, baik formil maupun materiil.
Perkara independensi hakim MK pun sempat diperdebatkan usai menerima penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden Joko Widodo.
Pemberian penghargaan itu dikhawatirkan akan memengaruhi para hakim yang tengah memproses gugatan UU Cipta Kerja.
sumber: cnnindonesia.com