Kamis, 16 Januari 2020
kartikanews.com–Otoritas Jasa Keuangan (OJK) khawatir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mewajibkan eksekusi objek jaminan fidusia harus mengikuti prosedur eksekusi putusan pengadilan apabila tidak diserahkan secara sukarela oleh debitur.
Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito mengatakan aturan tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru dari sisi kreditur. Ia mengatakan putusan MK bisa membuat kreditur malas dan lebih selektif dalam memberikan kredit kepada calon konsumen.
Pasalnya, kewajiban perusahaan tersebut dapat memicu kerugian dari sisi perusahaan pembiayaan bila terdapat beberapa oknum dari pihak debitur yang sengaja melakukan wanprestasi atau menunggak pembayaran utang dari tanggal yang dijanjikan.
“Jangan sampai ketika adanya putusan MK itu, menyebabkan penyediaan jasa keuangan atau perusahaan pembiayaan terlalu selektif dan malas menyediakan kreditnya,” kata Sarjito di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (15/1).
“Nah apabila nanti setiap eksekusi jaminan fidusia dilakukan melalui pengadilan oleh orang-orang yang memang saat berkontrak tidak ada niat, ini berbahaya. Jangan sampai kreditur ketika ada debitur nakal, dia tidak bisa eksekusi. Setiap eksekusi jadi butuh waktu lama,” tambahnya.
Sarjito menambahkan kerugian perusahaan kredit tersebut dapat berimbas kepada penurunan produktivitas masyarakat kecil. Pasalnya, kerugian bisa membuat masyarakat kalangan bawah kesulitan dalam mencari kredit kendaraan untuk bekerja.
“Sekarang, dengan DP kendaraan motor yang rendah, memungkinkan orang dapat motor mudah, langsung daftar ke perusahaan ojek online. Kalau Kreditur selektif, berarti orang-orang kecil yang ingin kendaraan untuk produksi ini jadi gak jalan. Keseimbangan itu yang harus diperhatikan,” ujar Sarjito.
Sarjito supaya kekhawatiran tersebut terjadi, pihak pemerintah akan terus mengawasi jalannya aturan-aturan yang dibuat tersebut sehingga dapat memastikan kemudahan jalannya bisnis perusahaan pembiayaan, dari sisi konsumen maupun produsen.
“Jadi harus terus dipantau, jangan sampai aturan ini not ease of doing business (menyulitkan bisnis). Tapi di satu sisi, jangan lupa juga hak-hak konsumen,” pungkasnya.
Sarjito kemudian menyebutkan salah satu upaya dalam melindungi konsumen, adalah dengan memperketat pengawasan kepada kreditur-kreditur nakal yang tidak memberikan informasi, permohonan, ataupun pemberitahuan mendetail saat melakukan eksekusi.
“Harus dipastikan kreditur-kreditur juga mengikuti prosedur dengan memberikan informasi ataupun peringatan kepada debitur yang kreditnya macet sebelum eksekusi. Jadi tidak main ambil obyeknya saja,” ujarnya.
Diketahui, putusan MK atas uji materil pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 UU Nomor 42 Tahun 1999 mewajibkan eksekusi obyek jaminan fidusia yang tidak diserahkan secara sukarela oleh debitur harus mengikuti prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan putusan tersebut, perusahaan pembiayaan yang ingin mengeksekusi obyek fidusia dari debitur yang keberatan menyerahkan secara sukarela obyek jamiman fidusianya, terlebih dahulu harus mensomasi debitur tersebut.
Setelahnya, kreditur harus mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri layaknya putusan perdata.
sumber : cnnindonesia.com