Kamis, 18 Maret 2021

Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono konferensi pers di kantor Mabes Polri, Jakarta, Rabu (24/2/2021).(Tangkapan layar akun Youtube Divisi Humas Polri)

kartikanews.com — Polri telah mengaktifkan virtual police atau polisi dunia maya sejak 23 Februari 2021. Virtual police adalah unit yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai respons atas arahan Presiden Joko Widodo agar polisi hati-hati menerapkan pasal-pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pelaksanaan tugas virtual police merujuk pada Surat Edaran (SE) Kapolri bernomor SE/2/11/2021 Tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.

Lewat SE, Kapolri meminta penyidik mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police serta virtual alert. Upaya tersebut bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Cara kerja virtual police, pantau medsos hingga tegur masyarakat

Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono mengatakan, pengaktifan virtual police yaitu dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana tertuang dalam SE Kapolri.

Argo memaparkan, virtual police yang memantau aktivitas di media sosial, akan melaporkan ke atasan jika menemukan unggahan konten yang berpotensi melanggar UU ITE. Selanjutnya, unggahan konten yang diserahkan oleh petugas virtual police akan dimintakan pendapat ke para ahli, seperti ahli pidana, ahli bahasa dan ahli ITE.

Jika ada potensi tindak pidana, unggahan konten itu akan diserahkan ke Direktur Tindak Pidana Siber atau pejabat yang ditunjuk. Setelah pejabat setuju, virtual police akan mengirimkan peringatan kepada pemilik akun.

“Setelah dia memberikan pengesahan, kemudian baru kita japri ke akun tersebut. Kita kirim itu. Jadi resmi kirimnya. Jadi tahu ada dari polisi yang kirim,” kata Argo.

Jika konten tak juga dihapus, polisi akan kembali mengirimkan pemberitahuan.

Ketika setelah pemberitahuan kedua tidak ada perubahan dan pihak yang merasa dirugikan melapor, Argo mengatakan Polri akan mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor.

“Misal yang dituju atau orang itu yang dirugikan bikin laporan, ya kita lakukan mediasi juga. Kalau tidak bisa, kita proses. Semuanya ada tahapan,” jelas Argo.

Pro-kontra virtual police

Kehadiran virtual police yang memantau aktivitas masyarakat di media sosial menimbulkan pro dan kontra. Dikutip dari Tribunnews, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, virtual police menimbulkan kecemasan baru bagi masyarakat ketika beraktivitas di media sosial.

Menurutnya, tugas dan fungsi virtual police terlalu masuk ke ruang privat warga negara. Ia pun mengatakan, virtual police berpotensi merampas kebebasan berpendapat.

“Polisi Virtual ini saya rasa malah menimbulkan ketakutan baru. Karena setaiap saat polisi bisa hadir sewaktu-waktu di ruang privat (digital) masyarakat,” kata Damar.

Sementara itu, pakar literasi digital dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Kurnia, mengatakan, kehadiran virtual police sebetulnya baik untuk memoderasi konten-konten di media sosial. Namun, Novi mengingatkan agar polisi obyektif dan netral dalam melaksanakan tugas.

“Virtual police sebagai sebuah aksi memoderasi ini bagus. Namun, ada catatan-catatan yang harus dipertimbangkan seperti posisi untuk bisa menjaga netralitas, obyektivitas, dan keadilan. Jangan terus interventif,” ujarnya.

Menanggapi berbagai pro dan kontra itu, Listyo Sigit mengatakan, prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) bisa diintervensi apabila itu menyangkut disintegrasi bangsa.

Sigit menegaskan, virtual police dalam melaksanakan tugasnya melayangkan peringatan kepada akun-akun media sosial yang mengunggah konten dengan unsur SARA. Ia mengatakan, kehadiran virtual police untuk memberikan edukasi kepada masyarakat demi menciptakan ruang siber yang damai dan sehat.

“Ini menimbulkan pro dan kontra. Ini kan namanya menghalangi kebebasan berekspresi? Polisi ini memang serba salah. Tapi HAM itu bisa dikompromikan terhadap hal-hal yang berdampak terhadap disintegrasi bangsa, maka kita boleh intervensi,” kata Sigit saat menyampaikan kuliah umum kebangsaan di Universitas Indonesia, Rabu (10/3/2021).

Secara terpisah, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Slamet Uliandi mengatakan, virtual police tidak bertugas menangkap pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Ia menegaskan, selama ini Polri tidak pernah menangkap orang yang kontra dengan pemerintah.

“Kalau pun ada kesalahan yang berkaitan dengan kritik, kita tidak pernah tangkap kok terkait kritik. Bisa dicek,” kata Slamet dalam wawancara dengan Aiman di Kompas TV, Senin (8/3/2021).

Slamet menjelaskan, virtual police bisa melayangkan teguran jika kritik yang disampaikan tidak berdasarkan fakta. Ia mengatakan, virtual police akan bekerja secara proporsional.

sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

+ 64 = 73