Selasa, 22 Februari 2022

Ilustrasi hukum(freepik.com/ kjpargeter)

kartikanews.com — Seorang ibu dari Kota Bengkulu meminta upaya hukum restorative justice atau keadilan restoratif terhadap kasus anaknya yang akan melakukan persidangan.

Wanita berinisial Y itu mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Bengkulu, setelah mengendarai motor dari Kabupaten Jaur dengan jarak 138 kilometer pada Rabu (16/2/2022). Sang ibu mengaku sedih dengan kejadian yang menimpa anaknya yang akan menjalani sidang karena kasus pencurian handphone.

Ibu tersebut mengaku tidak tahu menahu mengapa anaknya mencuri handphone, padahal anaknya selalu juara kelas.

“Anak saya siswa SMK kelas XI, magang di Kota Bengkulu. Dia selalu juara kelas, namun entah mengapa ia mencuri ponsel temannya, diancam penjara 7 tahun. Kamis ini dia disidangkan, saya sungguh sedih,” kata Y saat dikutip dari Kompas.com, Rabu (16/2/2022).

Y memohon kepada Jaksa Agung untuk memberikan keadilan kepada anaknya melalui upaya hukum restorative justice, atau keadilan restoratif di mana masalah hukum bisa diselesaikan tanpa pemidanaan. Pasalnya, sudah ada kesepakatan damai antara korban pencurian dan anaknya. Sementara pihak kejaksaan juga sudah mengupayakan agar dilakukan restorative justice, namun gagal karena sejumlah masalah.

Apa itu restorative justice?

Dilansir Kompas.com, restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Secara prinsip restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Dalam restorative justice, dialog dan mediasi melibatkan beberapa pihak, yang secara umum bertujuan untuk menciptakan kesepatakan atas penyelesaian perkara pidana.

Beberapa pihak dalam mediasi restorative justice:

  • Pelaku
  • Korban
  • Keluarga pelaku
  • keluarga korban
  • Dan pihak terkait

Prinsip utama dari restorative justice adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Tujuan lain dari restorative justice adalah untuk menciptakan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Saat ini prinsip restorative justice sudah mulai diterapkan oleh lembaga hukum di Indonesia.

Restorative justice di Indonesia

Masih dari sumber yang sama, tiga lembaga penegak hukum Indonesia yakni Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung telah masing-masing memiliki landasan hukum dalam penerapannya. Walaupun mempunyai perbedaan terkait mekanisme dan tata cara restorative justice, namun semuanya tetap berfokus kepada perubahan pidana menjadi dialog atau mediasi.

Mekanisme tersebut dilakukan untuk menciptakan alternatif penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang dengan memfokuskan pada upaya pemulihan dan reintegrasi kembali hubungan masyarakat.

Kepolisian

Kepolisian telah menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Tindakan restorative justice didasarkan pada dua syarat, yakni formil dan materiil. Syarat formil berupa adanya perdamaian kedua belah pihak, yakni pemenuhan hak korban serta tanggung jawab pelaku (kecuali tindak pidana narkotika).

Sedangkan persyaratan materiil berupa:

  • Tdak ada penolakan dari masyarakat atau menimbulkan keresahan
  • Tidak berdampak pada konflik sosial
  • Tidak memecah belah bangsa
  • Tidak bersifat radikal dan separatisme
  • Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan

Untuk pelaksaanannya, dialog atau mediasi dapat dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan, yang kemudian setelahnya menghasilkan kesepakan melanjutkan atau menghentikan suatu perkara. Syarat lain adalah harus adanya gelar perkara khusus sebagai dasar diterima atau tidak permohonan restorative justice.

Kejaksaan

Kejaksaan mempunyai landasan penerapan restorative justice yakni pada Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Restorative justice tersebut menjadi dasar bagi Jaksa untuk melakukan penutupan perkara karena telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). Penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice dengan mempertimbangkan: subyek, obyek, kategori, dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana, tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula; dan adanya perdamaian antara korban dan tersangka.

Kualifikasi pelaku dan kerugian dari tindak pidana yang bisa dilakukan restorative justice adalah:

  • Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana
  • Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun
  • Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)

Mahkamah Agung

Mahkamah Agung mengatur mengenai mekanisme restorative justice melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

Ketentuan ini memberikan batasan (kriteria) dalam pelaksanaan restorative justice yakni dalam tindak pidana ringan pada Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan Pasal 802 KUHP dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Mekanisme dalam proses restorative justice Pengadilan Negeri berkoordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kepolisian Resor dalam pelaksanaan pelimpahan berkas.

Dalam penerimaan pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, dan penadahan, termasuk korban, pelaku, keluarga korban/pelaku, serta pihak-pihak terkait pada sidang yang telah ditetapkan.

Persidangan ini dipimpin oleh hakim tunggal dengan memperhatikan barang atau nilai uang yang menjadi objek perkara. Hasil perdamaian dari para pihak ini menjadi dasar dalam penyusunan putusan hakim. Selain dalam tindak pidana tersebut, Mahakamah Agung juga telah mengarustamakan gender khususnya mengatur restorative justice pada perempuan yang berhadapan dengan hukum dan perkara pada anak.

sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

68 + = 72