Rabu, 15 Januari 2020
kartikanews.com–Perusahaan pembiayaan (multifinance) atau leasing bisa tetap menarik barang yang tercatat sebagai pembiayaan macet jika nasabah yang bersangkutan wanprestasi atau tak menyelesaikan kewajibannya. Namun, penarikan harus melalui peringatan terlambat bayar sebanyak tiga kali dan pemberitahuan penarikan barang.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno bilang aturan itu merupakan turunan dari payung hukum terkait fidusia, yang dipertegas oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi, MK mengeluarkan putusan untuk memperjelas Pasal 15 Ayat 2 dan 3 Undang-undang Fidusia. Bukan membatalkan,” jelasnya, Selasa (14/1).
UU yang dimaksud adalah UU Nomor 42 Tahun 1999. UU itu, sambung Suwandi, turut mengatur wanprestasi atawa cidera janji antara debitur dan kreditur.
Pasal 15 menyebut debitur (nasabah) yang melakukan wanprestasi, maka penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi dan menjual benda yang menjadi objek jaminan secara lelang.
Aturan itu sendiri dibuat berdasarkan permasalahan yang menjerat perusahaan leasing dan nasabah saat terjadinya pembiayaan macet. Aset atau benda bergerak di dalam perjanjian ini menjadi obyek jaminan fidusia dan atas nama nasabah, namun kalau wanprestasi obyek tersebut menjadi milik leasing atau siapapun yang membiayai.
Tetapi, lanjut Suwandi, jika tidak terjadi pembiayaan macet, maka nasabah sepenuhnya memiliki objek jaminan fidusia tersebut.
“Jadi, pemahamannya, nasabah tidak punya uang, dibiayai sebagian besarnya dari kami (leasing). Dikasih atas nama nasabah kalau sudah lunas, awalnya pakai nama perusahaan (leasing),” terang dia.
Persoalannya, nasabah kerap merasa memiliki obyek jaminan. Ketika pembiayaannya macet, nasabah mempertahankan obyek yang bukan miliknya. Padahal, leasing telah memberi peringatan terlambat bayar, termasuk peringatan penarikan obyek.
“Kalau sudah dikasih peringatan, kami beritahu lagi kami akan eksekusi. Eksekusinya sesuai janji, kalau tidak bayar utang, obyek jaminan sama-sama dijual. Kami lunasi utangnya,” imbuh Suwandi.
Masalah tersebut bisa dibawa ke pengadilan apabila tidak terdapat kejelasan perjanjian atau tidak ada peringatan dari pihak leasing kepada nasabah.
“Aturannya jelas bahwa nasabah tanda tangan, nasabah mengerti pada saat wanprestasi. Kami (leasing) tidak main eksekusi, tetapi kasih tahu dulu ke nasabahnya,” ujarnya.
Ia mengaku menyayangkan pihak-pihak yang menyebut bahwa leasing mengambil paksa kendaraan begitu saja, sehingga menjadi kesalahpahaman di masyarakat.
“Pandangan ambil paksa, pakai kekerasan. Itu karena orang gagal paham kalau sebetulnya benda tersebut bukan milik dia (nasabah),” katanya.
Sebelumnya, MK memutuskan penarikan barang tak boleh dilakukan secara sepihak. Putusan bernomor 18/PUU-XVII/2019 menyatakan selama ini tidak ada tata cara pelaksanaan eksekusi atau penarikan barang leasing jika kreditur melewati tenggat waktu pembayaran.
Akibatnya muncul paksaan atau kekerasan dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pembayaran tersebut atau kerap disebut debt collector.
Sementara, jika merujuk ketentuan eksekusi yang diatur Pasal 196 HIR atau Pasal 208 Rbg menyebutkan eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur atau dalam istilah hukum disebut sebagai penerima fidusia atau penerima hak, melainkan harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri.
“Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri,” tandas hakim seperti dikutip dari putusan yang diunggah di website MK.
sumber : cnnindonesia.com