Rabu, 13 Mei 2020

kartikanews.com — Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji Pasal 32 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) terkait sertifikasi bagi kuasa hukum (advokat) yang syaratnya diatur Menteri Keuangan untuk membela kliennya. Intinya, putusan MK ini menegaskan kuasa hukum wajib pajak tidak dapat dibatasi untuk memberi bantuan dan bertindak sebagai kuasa wajib pajak tanpa harus memenuhi syarat dan hak-kewajiban yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa ‘pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa’ dalam Pasal 32 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara’,” kata Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan MK No. 63/PUU-XV/2017 di ruang sidang MK, Kamis (26/4/2018).

Permohonan ini diajukan advokat/kurator Petrus Bala Pattyona yang mempersoalkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUHP yang memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan menentukan syarat serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa wajib pajak. Secara teknis, kewajiban sertifikasi kuasa hukum wajib pajak ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa; Peraturan Menteri Keuangan No. lit/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak; PMK No. 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan untuk menjadi Kuasa Hukum Pengadilan Pajak.

Sementara Menteri Keuangan memiliki kewenangan absolut terhadap pencabutan izin praktik advokat di Pengadilan Pajak. Hal ini diatur Pasal 26 PMK No. 11/1PMK.03/2014 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan izin Praktik. Bunyinya, “Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan izin praktik, dan menetapkan pencabutan izin praktik.”

Dengan begitu, pasal itu dinilai telah membatasi ruang gerak advokat ketika menangani perkara pajak karena belum bersertifikasi sebagaimana Konsultan Pajak, sehingga selalu ditolak oleh Kantor Pelayanan Pajak. Pemohon pernah ditolak oleh Kantor Pajak Bantul saat memberikan bantuan hukum kepada kliennya padahal Pemohon adalah seorang advokat.

Mahkamah dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai pembentukan Permenkeu tersebut bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur UU. No. 12 Tahun 2011. Sebab, materi muatan Permenkeu itu tidak bisa mengambil alih materi muatan UU yang mengikat hajat hidup orang banyak dan hak-hak warga negara.

“Hal ini tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut UUD Tahun 1945, delegasi kewenangan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya mengatur substansi materi muatan peraturan perundang-undangan (UU),” ujar Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah sesuai sifat delegasi peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis-administratif, tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak-haknya sebagai wajib pajak.

“Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberi kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada Menteri Keuangan, melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai ‘syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa’,” ujarnya.

Dalam konteks permohonan ini, lanjut Palguna, tanpa harus menilai kasus konkrit yang dialami Pemohon, khususnya berhubungan dengan berlakunya Permenkeu No. 229/PMK.03/2014, Mahkamah berpendapat memang terdapat kebutuhan mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan.

“Karena itu, ada atau tidak ada kasus konkrit sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai ‘syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa’ sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif (bukan substansi materi UU),” tegasnya.

Atas dasar itu, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis administratif yakni sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan atau perluasan hak dan kewajiban. Menanggapi putusan, Petrus Bala Pattyona menyambut baik putusan ini.

“Dengan putusan MK ini ada perluasan makna, misalnya (penanganan sengketa pajak) tidak hanya ditangani konsultan pajak, tapi ditambah poinnya bahwa setiap orang yang mengerti pajak bisa membantu wajib pajak,” kata Petrus.

Ditegaskan Petrus, siapapun yang mengerti tentang aturan pajak bisa menerima dan menjalankan kuasa dari wajib pajak termasuk advokat.

“Jadi peraturan yang lama masih berlaku, tapi orang di luar konsultan pajak juga boleh,” tegasnya.

Ia mencontohkan, profesi wartawan atau karyawan akuntan juga bisa menjadi kuasa hukum wajib pajak jika memang memiliki pengetahuan terkait perpajakan.  

sumber: hukumonline.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

+ 12 = 17