Sabtu, 30 November 2019

Ilustrasi. Ancaman 22 tahun penjara yang dihadapi terdakwa kasus video asusila ‘Vina Garut’ dinilai tidak tepat. (Istockphoto/Markgoddard)

kartikanews.com–Kasus video asusila ‘Vina Garut’ memasuki babak baru. Proses hukum kasus ini telah memasuki persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Garut, Jawa Barat, Kamis (28/11).

Dalam sidang perdana kasus yang digelar secara tertutup ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat ketiga terdakwa V, W, dan D dengan Pasal 4 Ayat (1) UU Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Lalu, sebagai alternatif, Pasal 8 juncto 34 UU Pornografi dengan ancaman kurungan 10 tahun.

Dengan begitu, ancaman hukuman bisa mencapai 22 tahun jika kedua pasal yang diterapkan JPU terbukti di persidangan.

Menanggapi dakwaan JPU, kuasa hukum V, Asri Vidya Dewi angkat bicara. “Saya menilai kedua dakwaan sangat tidak memenuhi unsur pidana,” kata Asri saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (28/11).

Pasal 4 Ayat (1) UU Pornografi berbunyi, “setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi”.

Sedangkan dalam Pasal 8 berbunyi, “setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”.

Asri mengatakan, pasal kedua yang disangkakan terhadap kliennya sangat rancu. V, sebutnya, hanyalah seorang korban dari kasus yang sedang ditanganinya ini.

“Klien kami jelas-jelas korban, tapi dipaksakan jadi pelaku. Jadi, kalau saya lihat, JPU maupun polisi dalam pelaporannya tidak mengerti soal relasi kuasa,” ujar Asri.

Asri juga menyebutkan, video direkam saat V masih berusia 17 tahun. Seluruh adegan yang dilakukannya, baik dengan A maupun pelanggan terjadi pada kurun waktu 2017-2018. Saat itu, V masih berstatus sebagai istri dari tersangka A.

Berdasarkan pengakuan V, kata Asri, terkuak bahwa sang suami kala itu diketahui memiliki kebiasaan untuk selalu merekam aktivitas hubungan intim yang dilakukan keduanya. A juga kerap rela menjual dirinya ke tamu atau pelanggan.

“Klien saya yang jadi korban itu tidak menerima bayaran. Orang-orang [pelanggan] bayar ke suaminya yang berinisial A. Dari situ lah V dinafkahi,” ujar Asri.

Asri mengaku tidak melakukan eksepsi atas dakwaan JPU. Persidangan sendiri akan dilanjutkan pada Selasa (3/12) mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi.

“Kami mau fokus ke pembelaan dan pembuktian. Eksepsi sering kali ditolak sama majelis hakim dan menjadikan terdakwa lama dalam tahanan menunggu kepastian hukum,” katanya.

Selain itu, Asri juga mengaku kecewa karena majelis hakim tidak memberikan kesempatan kepada konselor untuk hadir mendampingi kliennya di persidangan. “Konselor terpaksa menunggu di luar sidang,” kata dia.

Terpisah, Direktur Womens Crisis Center Ira Imelda menyebut, hakim seharusnya membuka lagi aturan terkait persidangan yang mengadili perempuan.

“Jadi, memang karena posisinya sebagai korban perlu didampingi konselor atau psikolog, karena dalam persidangan ada banyak hal yang dia dengar dan itu akan membuat dia mengingat kembali apa yang terjadi. Itu secara psikologis berpengaruh,” kata Ira.

Lebih lanjut, Ira mengatakan, semestinya majelis hakim mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Pasal 9 dalam beleid tersebut menerangkan bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum dan mengalami hambatan fisik serta psikis disarankan untuk hadir di persidangan bersama pendamping.

“Walau dinyatakan terdakwa, tapi kalau kita lihat [terdakwa V] masih dalam usia anak saat kejadiannya. Secara psikis pasti sangat tertekan. Beritanya viral serta memberi stigma negatif,” ujar Ira.

sumber : cnnindonesia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

− 1 = 3