Rabu, 09 Oktober 2019
kartikanews.com—Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan judicial review atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019 itu menguji Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 terhadap UUD 1945.
Pemohon menyampaikan tidak adanya aturan pembatasan jangka waktu tertentu bagi narapidana kasus korupsi untuk maju dalam pemilu, membuat perhelatan tersebut diikuti kembali oleh mantan napi kasus korupsi, seperti halnya kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil.
Untuk diketahui, Bupati Kudus periode 2003-2008 itu menjadi terpidana kasus korupsi APBD tahun anggaran 2004 yang ditangani Kejaksaan Negeri Kudus pada tahun 2014. Setelah bebas tahun 2015, Tamzil kembali maju menjadi Bupati Kudus pada Pilkada 2018 dan kemudian terpilih. Belum satu tahun menjadi kepala daerah, Tamzil ditangkap KPK karena kasus korupsi pada Juli 2019.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 mengatur persyaratan calon kepala daerah salah satunya, “Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Maka itu, para pemohon meminta agar mahkamah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta kepada pemohon untuk memberikan argumentasi apakah ada perbedaan antara mantan napi yang keluar langsung bisa mencalonkan dengan mantan napi yang harus menunggu lima tahun dulu untuk bisa maju sebagai calon kepala daerah.
“Apakah nanti pemohon bisa memberikan gambaran apakah ada jaminan 5 tahun orang justru menjadi lebih baik,” kata Suhartoyo dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/10).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga meminta kepada pemohon untuk menyampaikan argumentasi mengapa mantan narapidana dalam Pilkada bisa dipilih oleh masyarakat. Hal itu berkaitan dengan pendidikan politik di dalam masyarakat.
Pun, pemohon diminta untuk menjelaskan mengapa orang yang sudah dihukum karena kasus pidana korupsi kemudian saat menjabat kembali terjerumus kasus yang serupa.
“Apakah ada kesalahan sistem rekrutmen pejabat publiknya? Tolong dikaitkan supaya kita mendapat gambaran yang komplit dari pemohon,” tanya Arief.
Usai sidang, Kuasa Hukum Pemohon Donal Fariz menyampaikan pihaknya akan memperbaiki permohonan tersebut dan mendorong agar calon kepala daerah yang berstatus mantan terpidana kasus korupsi bisa mencalonkan diri kembali setelah diberikan jeda selama 10 tahun atau dua siklus pemilu.
“Kami pertimbangkan bisa saja jedanya lebih tinggi 10 tahun. Awalnya jedanya lima tahun, dengan menggunakan logika satu siklus pemilu. Kami ke depannya berharap MK berikan jeda waktu yang lebih panjang, dua siklus pemilu untuk calon kepala daerah yang berstatus sebagai mantan terpidana kasus korupsi baru boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah,” tuturnya.
sumber : mediaindonesia.com
seharusnya napi koruptor dilarang untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilu. siapa yang dapat menjamin ketika terpilih napi tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya?