Penampakan parkir liar di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat, saat konser Coldplay berlangsung hari ini, Rabu (15/11/2023).(KOMPAS.com/Dzaky Nurcahyo)

kartikanews.com — Parkir liar merupakan kegiatan perparkiran yang berdiri sembarangan secara ilegal atau tidak resmi. Umumnya, parkir liar ini ditandai dengan tidak adanya karcis parkir. Selain itu, meskipun kadang ada karcis parkir, parkir liar tidak mengatasnamakan dinas terkait pemerintah daerah (pemda) setempat selaku pihak pengelola perparkiran umum di masing-masing wilayah.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, parkir liar bisa dikenakan pidana dengan pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, jika menemui parkir liar, pelanggan bisa menolak untuk membayar parkir. Termasuk jika tukang parkirnya memaksa, bisa dilaporkan ke polisi.

“Itu bukan area parkir resmi (milik pemerintah setempat) yang bersifat publik, tetapi parkir milik perorangan (swasta) yang menggratiskan parkir. Artinya, pemungutannya menjadi liar,” ujar Abdul saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/4/2024).

Hal tersebut juga berlaku di minimarket yang tidak terdapat keterangan “parkir gratis” namun ada tukang parkirnya, karena juga termasuk parkir liar. Lantas, apa saja pasal yang bisa menjerat tukang parkir?

Pelaku parkir liar terancam pidana 9 tahun?

Abdul menyampaikan, pelaku atau tukang parkir liar bisa dijerat dengan pasal 368 tentang tindak pidana pemerasan dengan kekerasan, serta 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengancaman dengan pencemaran nama baik. Ancaman hukuman keduanya adalah ancaman penjara paling lama 9 tahun dan 4 tahun.

“Selain 368 dan 369, pelaku juga bisa dituntut sebagai perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 KUHP, ancaman hukumannya 1 tahun (penjara),” ungkap Abdul.

Adapun bunyi Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai berikut:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”

Kemudian Pasal 369 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

Sementara Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan yakni:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
  2. Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.”

Jumlah denda Rp 4.500 yang disebutkan pada pasal itu, akan dilipatgandakan seribu kali menjadi Rp 4.500.000. Hal itu mengacu pada Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Kewajiban pemda untuk berantas parkir liar

Terpisah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno menuturkan, pemerintah daerah (pemda) setempat memiliki kewajiban untuk menertibkan parkir liar yang merupakan bentuk pungutan liar. Namun demikian, ia tidak menampik jika tukang parkir liar bisa memiliki “backing” yang membuatnya merasa berani meski salah.

Terlebih, pemda setempat mengeluarkan peraturan daerah (perda) masing-masing untuk mengatur perparkiran, salah satunya seperti Perda Jakarta Nomor 5 Tahun 2012.

“Jika acuannya adalah Perda Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran, maka disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha yang menyelenggarakan dan memungut jasa parkir harus memiliki izin,” kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

Tanpa mengantongi izin dari Pemprov Jakarta, maka tukang parkir liar dapat dikenakan sanksi administratif dengan denda maksimal Rp 50 juta. Izin tersebut dapat dibuktikan salah satunya dengan pemberian karcis parkir kepada pelanggan minimarket.

“Tanpa ada izin, konsumen berhak menolak untuk membayar parkir,” tuturnya.

sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

77 − 67 =