Selasa, 18 Agustus 2020

kartikanews.com — Virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 masih menyebar dan menginfeksi manusia. Bersamaan dengan itu, banyak klaim temuan obat Covid-19 yang tidak berdasar bukti ilmiah dan diragukan manfaatnya.

Asal klaim temuan obat dilakukan oleh beberapa orang, dan sering kali tanpa diketahui peneliti lain. Padahal seperti kita tahu, dalam memasarkan obat harus diuji terlebih dahulu khasiatnya dan dikaji oleh ilmuwan lain.

Banyak pula klaim temuan obat yang dianggap tidak mengikuti protokol pembuatan dan uji obat yang telah disepakati para peneliti berbasis kajian ilmiah dan lembaga penjamin mutu obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).

Menanggapi kondisi ini, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), dr Mahesa Paranadipa Maikel, MH angkat bicara dan meninjau dengan kajian hukum.

“Terhadap kasus siapapun yang mengaku menemukan obat Covid-19, menurut saya ada banyak sekali sanksi hukum yang bisa dikenakan,” kata Mahesa, Kamis (13/8/2020).

Sanksi tersebut, juga akan berbeda tergantung dari mana kategori kasus klaim obat Covid-19 itu dilakukan. Berikut penjelasan rinci terhadap dua kategori kasus dan sanksi yang bisa dikenakan:

Pemalsuan gelar

Disebutkan Mahesa dalam keterangan tertulisnya, kategori sanksi pertama ini adalah apabila orang tersebut menggunakan titel atau gelar dokter atau profesor, tetapi ternyata tidak dimilikinya alias palsu.

Maka, kasus dalam kategori ini dapat dikenakan Pasal Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di mana, setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Selain itu, kata dia, ancaman pidana juga bisa diberikan kepada orang tersebut.

Terutama jika orang yang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain untuk menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah tenaga profesional.

Misalnya, seseorang mengaku sebagai dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik dengan Pasal 77 UU Praktik Kedokteran.

Orang yang melakukan tindakan tersebut dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Promosi produk tak sesuai kegunaan

Dalam kategori sanksi kedua adalah apabila orang tersebut menjual atau mempromosikan obat herbal atau tradisional yang diklaim sebagai obat penyembuh dari Covid-19. Maka, orang tersebut dapat dikenakan beberapa sanksi.

Pertama, bisa dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen tentang memproduksi atau memperdagangkan jasa yang tidak sesuai dengan iklan atau promosi.

Kedua, Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur bahwa hal tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.

Ketiga, pasal 58 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Isinya di dalam pasal tersebut berbunyi: setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

“Selain itu, jika sampai ada korban dari penggunaan obat herbalnya, aparat penegak hukum bisa menjeratnya dengan pasal 359 atau 360 KUHP,” kata dia.

sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 + = 11