kartikanews.com — Korban merupakan pihak yang menderita dan mengalami kerugian akibat tindak pidana. Namun, keterlibatan korban dalam mengadili pelaku hanya sebatas memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Hal ini menyebabkan korban kerap merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan jaksa penuntut umum maupun putusan hakim.
Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (2002) mengatakan, dalam rangka perlindungan korban, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah esensi kerugian. Kerugian tersebut dapat dimintakan ganti rugi sebagai hak dari korban tindak pidana. Salah satu bentuk ganti rugi tersebut, yakni restitusi. Lantas, apa itu restitusi?
Pengertian Restitusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), restitusi adalah ganti kerugian atau pembayaran kembali. Selain itu, dalam istilah hukum, restitusi berarti pemulihan kondisi korban atau penggantian kerugian yang dialami korban, baik secara fisik maupun mental.
Dikutip dari Jurnal Hukum dan Pembangunan (2015), restitusi adalah suatu upaya untuk mengembalikan kondisi semula sebelum kejahatan terjadi. Meski pada dasarnya, korban tidak mungkin dapat kembali pada kondisi semula sebelum terjadi kejahatan.
Sementara itu, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana, juga memberikan pengertian apa itu restitusi.
Pasal 1 angka 1 Perma menjelaskan, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Adapun yang dimaksud korban merupakan orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi karena suatu tindak pidana. Korban tersebut, termasuk anak yang belum berusia 18 tahun, serta janin dalam kandungan.
Bentuk Restitusi
Merujuk Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2022, korban tindak pidana berhak mendapatkan restitusi berupa:
- Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan
- Ganti kerugian, baik materil maupun imateril yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana
- Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis
- Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Pengajuan Permohonan Restitusi
Korban tindak pidana bisa mendapatkan restitusi dengan pengajuan dan pemeriksaan permohonan sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Permohonan restitusi kepada pengadilan ini bisa diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), penyidik, penuntut umum, atau oleh korban sendiri. Nantinya, putusan hakim memuat pernyataan diterima atau tidaknya restitusi, alasan, serta besaran restitusi.
Namun, jika tidak mengajukan selama proses pengadilan, bisa juga diajukan setelah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Permohonan restitusi setelah putusan pengadilan ini diajukan langsung oleh korban atau melalui LPSK, paling lama 90 hari sejak mengetahui telah ada putusan berkekuatan hukum tetap.
sumber: kompas.com