Senin, 04 November 2019
kartikanews.com–Presiden Joko Widodo memastikan, tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang KPK hasil revisi. Alasannya, presiden menghormati proses uji materi UU KPK yang tengah berjalan di Mahkamah Konsitusi (MK).
Wakil Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023, Indriyanto Seno Adji menilai, pilihan yang konstitusional dan memiliki legitimasi hukum hanya melalui uji materil di MK.
Makanya, lanjut dia, jauh lebih baik semua komponen berkepentingan menunggu hasil pemeriksaan yang masih berlangsung dan keputusan MK yang sifatnya final dan binding (mengikat).
“Ini sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan Presiden kepada MK sebagai kekuasaan lembaga yudikatif yang memiliki legitimasi konstitusional,” kata Indriyanto Seno Adji melalui keterangan pers yang diterima SINDOnews, Minggu (3/11/2019).
Guru Besar dari Universitas Krisnadwipayana ini mengatakan, Presiden memiliki diskresi penuh untuk memutuskan bahwa jalur legitimasi melalui Putusan MK adalah pilihan dengan legalitas yang sempurna.
Meskipun Perppu merupakan hak prerogatif subyektif presiden, tapi penerbitan Perppu Revisi UU KPK menjadi tidak konstitusional karena Perppu ini tidak memenuhi syarat kondisi “kegentingan yang memaksa” sebagaimana parameter yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK No.138/PUU-VII/2009. Tidak ada “kegentingan yang memaksa” yang mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu.
Secara substansial, dengan ada atau tidak adanya UU KPK baru, penegakkan hukum masih tetap berjalan, misal proses Lidik dengan OTT-nya, penyidikan, penuntutan, bahkan proses di Pengadilan tetap memiliki legitimasi pro justitia.
“Dijamin tidak benar rumor bahwa UU KPK adalah bentuk pelemahan. Ini bentuk misleading opinion bagi publik,” terang Dosen di Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Indriyanto juga menyinggung soal dampak pembuatan perppu memiliki korelasi antara presiden sebagai kekuasaan eksekutif dengan MK sebagai cabang kekuasaan yudikatif.
Pada tataran facet interdisipliner akademik, khususnya facet hukum tata negara (HTN) dengan disiplin ilmu hukum lainnya, sudah tidak dikenal lagi Absolute Separation of Powers yang diidentikan sebagai kekuasaan tirani dan otoriter yang tidak mengenal kompromi.
Paham yang dinamis dan diakui adalah adanya Distribution of Power antara Cabang Kekuasaan yang mengakui adanya kordinasi, kontribusi, dampak hubungan kelembagaan serta checks and balances antara cabang/pilar kekuasaan.
“Karena itu, walau cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif berbeda, tapi dampak hubungan (relation impact) kedua lembaga (Presiden dan MK) memiliki korelasi yang kuat sekali,” terangnya.
Karena itu, jika Presiden menerbitkan Perppu pembatalan Revisi UU KPK, dikuatirkan terjadi overlapping dengan Putusan MK yang misalnya menolak permohonan uji materiil Revisi UU KPK, sehingga tidak ada kepastian hukum mengenai polemik obyek yang sama, yaitu Revisi UU KPK.
Dalam hal ada pertentangan antara Perppu deng Putusan MK, maka Perppu harus menundukan diri kepada Putusan MK yang final and binding. Karenanya, untuk menghindari adanya pertentangan tersebut, maka jalur utama dengan legitimasi konstitusional adalah menunggu Putusan MK atas Uji Materiel Revisi UU KPK.
“Semua ini adalah sikap dan keputusan Presiden yang harus dianggap bijak dan menghargai/menghormati Lembaga MK yang masih menjalankan mekanisme dan prosesual tentang validitas UU KPK Baru,” pungkasnya.
sumber : nasional.sindonews.com