Rabu, 23 Oktober 2019
kartikanews.com–Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap menghadapi gugatan praperadilan yang diajukan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Sesuai dengan penundaan yang disampaikan hakim, maka direncanakan sidang praperadilan yang diajukan tersangka IMR akan dilakukan pada Senin, 4 November 2019,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (22/10/2019).
Sebelumnya, sidang perdana praperadilan Imam Nahrawi direncanakan pada Senin, 21 Oktober 2019 kemarin. Lantaran pihak KPK tak hadir, sidang ditunda hingga 4 November 2019.
“Saat ini, KPK sedang mempelajari permohonan praperadilan yang diajukan tersangka IMR tersebut. Pada prinsipnya tentu kami akan menghadapi dan juga meyakini bahwa sejak awal kasus ini memang didasarkan pada bukti yang kuat,” kata Febri.
Febri menyatakan, penetapan terhadap Imam Nahrawi berdasarkan perkembangan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa pejabat di KONI dan Kemenpora. Hakim Pengadilan Tipikor sudah menyatakan mereka yang terjaring OTT dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dana hibah KONI bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
“Bahkan penetapan IMR sebagai tersangka merupakan pengembangan lebih lanjut dari OTT di Kemenpora dan fakta-fakta yang muncul di persidangan,” kata dia.
Febri membeberkan beberapa alasan Imam Nahrawi mengajukan praperadilan ke KPK. Pertama soal penetapan tersangka tidak melalui proses penyidikan dan Imam menyatakan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka dalam proses penyidikan tersebut.
Kedua proses penyelidikan KPK dianggap sangat pendek, yaitu hanya 4 hari yang dihitung dari tanggal laporan kejadian tindak pidana korupsi (LKTPK) 22 Agustus 2019 dan penerbitan Surat Perintah Penyidikan pada 28 Agustus 2019 dan penerbitan SPDP dilakukan 1 hari kemudian, yaitu 29 Agustus 2019.
“Menurut tersangka IMR, proses penyidikan tersebut sangat cepat dan yang berasangkutan tidak pernah diperiksa,” kata Febri.
Menurut Imam Nahrawi, penetapan tersangka tidak jelas karena tuduhan suap yang diberikan KPK melebihi jumlah kekayaan yang ia laporkan di LHKPN. Serta penahanan yang dilakukan KPK tidak sah karena pimpinan KPK telah menyerahkan mandat pada Presiden.
“Sebagian besar alasan yang diajukan oleh tersangka sudah cukup sering digunakan para pemohon praperadilan lain, sehingga sebenarnya relatif tidak ada argumentasi baru,” kata Febri.
Menurut Febri, seperti alasan yang mengacu pada KUHAP bahwa penetapan tersangka seharusnya dilakukan pada tahap penyidikan, sehingga pemeriksaan sebagai calon tersangka semestinya dilakukan di penyidikan.
Febri mengatakan, alasan tersebut sudah sering ditolak Hakim, karena memang UU KPK mengatur secara khusus, bahwa sejak proses penyelidikan, KPK sudah mencari alat bukti, sehingga ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka pada saat penyidikan dimulai sekaligus dapat dilakukan penetapan tersangka.
“Sedangkan terkait dengan penyelidikan yang prosesnya hanya 4 hari, tampaknya tersangka salah memahami makna LKTPK seolah-olah itu adalah surat perintah penyelidikan. KPK telah melakukan penyelidikan sejak 25 Juni 2019, dan selama penyelidikan itu sudah dilakukan pemanggilan 3 kali terhadap IMR, namun yang bersangkutan tidak datang karena berbagai alasan,” kata Febri.
Sedangkan terkait penahanan yang dihubungkan dengan penyerahan mandat, KPK telah menegaskan bahwa pimpinan KPK tetap bertugas sesuai dengan Keputusan Presiden sampai dengan 21 Desember 2019 ini.
“Dan sampai saat ini tidak ada keputusan presiden tentang pemberhentian pimpinan KPK,” kata Febri.
sumber : liputan6.com