Kamis, 04 Maret 2021
kartikanews.com — Dalam beberapa waktu terakhir, marak istilah mafia tanah berseliweran di ranah publik. Diawali oleh polemik mafia tanah oleh Dino Patti Djalal, respons Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginstruksikan Kapolri untuk memberikan fokus penindakan terkait kasus penipuan tanah, pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah oleh Kapolri, hingga penangkapan sejumlah oknum yang diduga terlibat dalam sindikat mafia tanah.
Istilah mafia tanah seolah menjadi generik dan dipakai pada setiap kasus persoalan tanah, misalnya sengketa tanah maupun pembebasan tanah. Eksesnya, sejumlah kalangan memanfaatkannya secara sembarangan atau subjektif untuk menyebut setiap persoalan tanah sebagai kasus mafia tanah.
Hal itu disayangkan oleh Guru Besar Hukum Pidana UI, Prof Indriyanto Seno Adji, yang menyebut ada semacam tindakan penyesatan opini publik terkait penggunaan istilah mafia tanah itu. Indriyanto sangat mengapresiasi Polri yang sudah bekerja secara profesional untuk pengungkapan berbagai kasus pertanahan, dan penindakan Polri tanpa pengecualian.
“Jadi tidak perlu meragukan tindakan yudisial Polri termasuk menyidik penyandang dana diduga sebagai pelaku intelektual. Akan tetapi, ternyata tindakan judisial Polri ini sepertinya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang bersengketa dengan menciptakan stigma Mafia Tanah secara subjektif. Seolah legalitas pembebasan tanah dipersepsikan sebagai aksi Mafia Tanah,” ujar mantan Plt Komisioner KPK ini, Rabu (3/3/2021).
Indriyanto menyebutkan, narasi dengan memberikan contoh sengketa atau kasus tanah secara subjektif, menunjukkan opini sesat dan penuh vested interest (konflik kepentingan).
“Sengketa Tanah distigmatisasi sebagai Mafia Tanah, yang semuanya berujung pada vested interest, bukan pada objektifitas sengketa hukum itu sendiri. Mafia Tanah itu kejahatan klasik yang terorganisir dan profesional, tapi menghindari mediasi dan prosesual hukum, karena itu memiliki limitasi pengungkapannya,” terang dia.
Namun sambung Indriyanto, sesuai prinsip Negara Hukum yang equal dan objektif (nonsubyektif), serta demi tetap menjaga prinsip Hukum dan HAM, jangan menebar isu narasi negative bahwa kasus sengketa tanah itu selalu adalah permainan Mafia Tanah.
“Pola pembentukan narasi, konotasi atau stigma negatif seolah semua persoalan tanah seperti pembebasan tanah atau sengketa lahan adalah aksi Mafia Tanah merupakan cara-cara penggiringan dan pembentukan opini sesat yang tidak sehat, yang justru menyimpangi pola dan tata hukum yg sah,” ujarnya.
Meski demikian Indriyanto meyakini, Polri sebagai penegak hukum dan garda terdepan dalam pengungkapan kasus-kasus sengketa tanah, sangat memahami opini sesat yang sebaiknya direduksi.
“Saya sangat percaya bahwa Polri mampu menghindari jebakan stigmatisasi ‘gebyah-uyah’ alias menyamaratakan kasus pertanahan sebagai kasus mafia tanah, yang diciptakan oknum yang memiliki konflik kepentingan subjektif,” imbuh dia.
Indriyanto mencontohkan kasus pertanahan di Kabupaten Tangerang, banten, yang mendadak ramai menggaungkan istilah mafia tanah. Dari penelusurannya, Indriyanto menyatakan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang sudah bekerja secara profesional.
Di mana setiap pengajuan permohonan terdapat prosedur/ketentuan yang harus dipenuhi, salah satunya pengecekan dan pengukuran ‘Fisik Tanah di Lapangan’. Selain itu, pihak yang mengajukan permohonan juga telah melalui proses jual beli yang sah.
Dengan demikian, tidak ada perampasan tanah sebagaimana dituduhkan, dan orang yang telah membeli tanah berhak untuk menjaga dan memanfaatkan tanah yang sudah dibelinya tersebut.
“Berdasarkan hal-hal tersebut, ternyata tidak ada dan tidak benar mengenai tuduhan adanya Mafia Tanah, sebaliknya seseorang yang merasa memiliki hak justru berhak untuk memperjuangkan hak-haknya melalui Pengadilan sebagai sarana untuk memperoleh keadilan. Bukan dengan cara-cara yang hendak mengintervensi hukum melalui berita-berita yang tidak benar dan belum teruji fakta-fakta dan kebenarannya di Pengadilan,” pungkas Indriyanto.
sumber: sindonews.com