Selasa, 24 November 2020

Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Brigjen Pol Prasetijo Utomo (kiri) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/11/2020). (Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

kartikanews.com — Petugas Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjenim) Kementerian Hukum dan HAM mengakui ada permintaan dari Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri terkait penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra dalam Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM).

ECS merupakan sistem cekal terpusat yang terhubung secara online ke tempat pemeriksaan Imigrasi di daerah.

Informasi tersebut diungkap oleh Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi, Sandi Andaryadi dalam sidang lanjutan kasus penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/11).

Ia menerangkan, pada kurun waktu Mei 2020 pihaknya menerima surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020 dan surat nomor: B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 05 Mei 2020. Keduanya ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.

“Kedua surat tersebut berasal dari Divhubinter dan ditandatangani oleh Ses NCB Indonesia atas nama Brigjen Slamet Wibowo, kalau tidak salah. Dua-duanya ditandatangani oleh pejabat yang sama,” terang Sandi di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/11).

Ia menjelaskan, surat tertanggal 4 Mei berisi pembaharuan data Interpol Notice dan penegasan bahwa NCB Interpol berwenang menerbitkan Red Notice, bukan DPO. Sementara surat tanggal 5 Mei mengenai penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar Red Notice Interpol sejak 2014.

“Di surat (tanggal 5) itu diinformasikan bahwa Red Notice nomor A sekian tahun 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data Interpol,” tutur dia.

Sandi berujar, kedua surat tersebut merupakan inisiasi dari divisi yang dipimpin oleh Irjen Napoleon Bonaparte.

Menanggapi itu, lanjut dia, pihaknya lantas berdiskusi dan menyepakati untuk menghapus nama Djoko Tjandra dalam ECS–yang sudah dimasukkan sejak 2015.

“Karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu merujuk pada Red Notice, yang kemudian pada surat tanggal 5 disebutkan bahwa Red Notice [Djoko Tjandra] sudah terhapuskan dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama dalam sistem kami,” pungkas Sandi.

Dalam perkara ini, mantan Kadivhubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra.

Suap tersebut dimaksudkan guna membantu menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar DPO yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

Berdasarkan hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum akibat masih berstatus buronan.

Penghapusan nama dari DPO itu terkait rencana untuk mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum Djoko Tjandra dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.

Adapun Napoleon, disebut menerima uang sejumlah Sin$200 ribu dan US$270 ribu. Sementara Prasetijo menerima uang US$150 ribu.

sumber: cnnindonesia.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − 10 =