Selasa, 07 April 2020
Ilustrasi karantina wilayah. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)
kartikanews.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memperingatkan penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berpotensi mengkriminalisasi warga di tengah-tengah situasi pandemi virus corona (Covid-19).
Mereka mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk berhati-hati dan tidak menggunakan pasal karet dalam beleid tersebut.
“Hal ini dikarenakan aturan pasal pidana tersebut dari segi rumusan norma hukumnya bermasalah, bersifat karet, dan berpotensi sewenang-wenang,” kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Ridha Rasyid, dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (5/4).
Menurut dia, potensi pelanggaran tersebut terlihat dari rumusan Pasal 93 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta”.
Selain itu, Pasal 9 ayat 1 UU Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi rujukan norma hukum dari pasal pidana di atas, menyatakan setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Menurut Ridha, rumusan Pasal 93 maupun Pasal 9 ayat 1 tersebut bermasalah, karena memuat klausul kata yang bersifat karet, tidak bisa diukur, dan penerapannya berpotensi sewenang-wenang.
“Yakni klausul “tidak mematuhi” dan “wajib mematuhi” penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Baik kata “mematuhi” maupun “tidak mematuhi”, merupakan rumusan klausul yang tidak jelas pengukurannya, dan menimbulkan multitafsir,” katanya.
Pasal tersebut juga bertentangan dengan Asas Legalitas Hukum Pidana, yang dalam perumusan maupun penerapan norma pasal hukum pidana, harus mematuhi beberapa asas turunannya, seperti lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya.
Serta lex certa, yang berarti bahwa hukum tersebut harus jelas dan mengedepankan pentingnya kepastian sebagai tujuan hukum yang paling awal.
Hal ini berkaca dari anggota Polda Metro Jaya yang menangkap 18 orang yang berkumpul di malam hari di tengah wabah virus corona. Mereka sudah tiga kali diimbau, tetapi tak digubris sehingga diamankan kepolisian.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, penangkapan ke-18 warga itu karena mereka diduga melanggar PSBB Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP.
Mereka sudah tiga kali diimbau, namun tak menggubris sehingga diamankan kepolisian. Mereka ditangkap pada Jum’at malam (3/4) oleh tim gabungan TNI-Polri di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.
Sebanyak 11 di antaranya ditangkap di Bendungan Hilir dan 7 orang lainnya di daerah Sabang.
LBH Jakarta juga mendesak pemerintah untuk berhenti membuat kebingungan di masyarakat dengan secepatnya menetapkan kebijakan strategis dan solutif, yang berpihak pada masyarakat dalam mencegah penyebaran virus corona dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan prinsip negara hukum Indonesia.
LBH juga mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis untuk memastikan seluruh jajarannya menjalankan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan upaya paksa dengan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Polri dan Polda Metro Jaya untuk menghentikan tindakan hukum atau upaya paksa khususnya penangkapan sewenang-wenang kepada warga masyarakat tanpa dasar hukum yang jelas mengingat sampai hari ini PSBB belum ditetapkan sah berlaku di Wilayah DKI Jakarta maupun di berbagai daerah di Indonesia,” kata Ridha.
Serta mendesak Kompolnas, Pengawas Internal dan Propam Polri untuk segera melakukan pengawasan dan penindakan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
sumber: cnnindonesia.com