Jumat, 11 Maret 2022
kartikanews.com — Sewa menyewa adalah perjanjian di mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberi suatu barang ke pihak lain, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran yang disanggupi pihak tersebut.
Dilansir dari buku Hukum Bisnis (2017) karangan Neni Sri Imaniyati, dkk, istilah sewa menyewa menyatakan bahwa terdapat dua pihak yang saling membutuhkan sesuatu.
Pihak pertama disebut “yang menyewakan”, yaitu pihak yang memiliki barang dan membutuhkan sejumlah uang sewa. Pihak kedua disebut “penyewa”, yaitu pihak yang membutuhkan penggunaan barang melalui proses tawar menawar.
Tujuan perjanjian sewa menyewa adalah memberi hak pemakaian, bukan memberi hak milik suatu benda. Harga sewa dalam perjanjian ini tidak selalu berupa uang, tetapi ada juga yang berbentuk barang atau jasa.
Meskipun sewa menyewa merupakan perjanjian konsesual, namun undang-undang membagi jenis perjanjian ini menjadi sewa tertulis dan lisan. Intinya, perjanjian sewa tertulis sifatnya lebih formal, sedangkan perjanjian sewa lisan tidak terlalu formal.
Perjanjian sewa menyewa secara tertulis
Sewa menyewa yang diatur dalam perjanjian tertulis akan berakhir demi hukum (otomatis), apabila waktu yang ditentukan telah habis. Maksud ‘demi hukum’ dalam perjanjian tertulis adalah jika batas waktunya sudah habis, tidak perlu ada pemberitahuan terkait pemberhentian dalam menyewa.
Dalam pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dituliskan bahwa:
“Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu akan berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian itu”.
Sebagai contoh, perjanjian sewa properti dalam perjanjian sewa secara tertulis. Dalam hal ini, surat perjanjian dibutuhkan karena merupakan unsur penting yang harus ada dalam kesepakatan jika ingin menyewakan sebuah properti.
Adanya surat perjanjian ini secara tidak langsung akan memberi nilai keamanan dan kesepakatan yang saling menguntungkan. Karena dasar hukum surat perjanjiannya telah diatur dalam KUH Perdata.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dijelaskan beberapa persyaratan yang ada dalam sebuah perjanjian tertulis yang sah, yakni hak dan kewajiban pemilik serta penyewa, masa sewa, dan harga sewanya.
Kemudian berdasarkan pasal 1381 KUH Perdata, masa sewa akan berakhir sesuai waktu yang tercantum dalam surat perjanjian. Jika penyewa tidak memperpanjang kontrak, sewa menyewa properti tersebut berakhir sesuai kesepakatan awal. Namun, jika pemilik atau penyewa meninggal dunia, perjanjian tetap berlanjut dan tidak dapat diakhiri, karena hak dan kewajiban akan diteruskan kepada ahli waris.
Selain itu, masa sewa juga tidak bisa tiba-tiba diputus jika properti dijual oleh pemiliknya. Sehingga pemilik properti yang baru harus menunggu hingga masa sewa menyewa berakhir, kecuali sudah diatur dalam perjanjian awal.
Jika pemilik dirugikan karena propertinya rusak, penyewa wajib mengembalikan apa yang disewanya sesuai kondisi semula. Sedangkan jika penyewa yang dirugikan, misalnya pemilik mengeluarkan penyewa secara sepihak, pemilik wajib mengganti rugi biaya sewa yang telah dibayarkan.
Oleh sebab itu, pastikan perjanjian kontrak tertulis dengan jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk konsekuensi jika ada pihak yang melanggar.
Perjanjian sewa menyewa secara lisan
Sewa menyewa secara lisan terjadi ketika pihak yang menyewakan memberi tahu kepada penyewa bahwa ia akan menghentikan sewanya. Apabila tidak ada pemberitahuan, dapat dianggap sewa tersebut tidak diperpanjang untuk waktu yang sama.
Sewa menyewa yang dilakukan secara lisan diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.
Sebagai contoh, perjanjian sewa menyewa kamar kos sebagai bentuk perjanjian secara lisan. Perjanjian sewa menyewa kamar kos pada umumnya dibuat secara lisan, dan jarang terjadi pembuatan perjanjian secara tertulis di atas kertas.
Pihak yang menyewakan memilih perjanjian secara lisan karena mudah dalam pembuatannya, tidak memerlukan waktu lama, serta tidak memerlukan biaya. Jika ada masalah dalam kontrak sewa menyewa kamar kos, biasanya pemilik menyelesaikannya dengan musyawarah, karena tidak menyita banyak waktu dan tidak perlu mengeluarkan biaya perkara.
Dalam pasal 1709 dan 1710 KUH Perdata dituliskan bahwa jika barang milik penyewa hilang, pemilik kos yang akan bertanggung jawab. Namun, peraturan mengenai sewa kamar kos belum diatur secara khusus dalam KUH Perdata.
Apabila terjadi kerusakan fasilitas kamar kos oleh pihak yang menyewakan, penyewa biasanya akan disuruh ganti rugi dengan melakukan pembayaran kepada pemilik kos. Selanjutnya, jika pemilik kos lalai atas keamanan rumah kos yang disewakan, pertanggungjawaban soal kehilangan barang milik penghuni, merupakan tanggung jawab pemilik kos. Sehingga pemilik kos diharapkan selalu menjaga keamanan kos yang disewakan.
Perjanjian secara lisan dipandang cukup berisiko, khususnya pada perjanjian yang rentan terhadap kerugian berbagai pihak ketika terjadi masalah, seperti perjanjian sewa menyewa. Sebab, perjanjian lisan tidak menggunakan akta tertulis. Sehingga tidak dapat menjamin, menyangkal, atau mengakui bahwa di antara keduanya telah membuat perjanjian.
sumber: kompas.com