Dokter asal Bogor bernama Qory (kedua dari kiri) viral karena dilaporkan hilang sudah ditemukan. Ia didampingi Unit PPA dan Dinas P2PT2A di Mapolres Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/11/2023). Ia ditemukan usai melarikan diri ke rumah aman Dinas Pusat pelayanan terpadu Perlindungan Perempuan dan anak (P2TP2A).(Dok. Humas Polres Bogor)

kartikanews.com — Dokter Qory (37) berencana mencabut laporan dugaan kekerasan yang dilakukan suaminya, Willy Sulistio (39) di kepolisian. Willy diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan membuat Qory kabur dari rumah. Hal tersebut disampaikan oleh Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Teguh Kumara di Mapolres Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (20/11/2023).

“(Mau cabut laporan) betul, sementara baru penyampaian lisan ke kami,” ujarnya, diberitakan Kompas.com, Senin.

Qory masih sayang suaminya

Menurut Teguh, Qory ingin mencabut laporan terhadap Willy karena masih menyayangi suaminya.

“Yang kami tahu memang, kami lihat dan kami komunikasikan dengan dokter Qory, pasangan ini saling sayang dan kemarin terjadi kekerasan itu karena dipicu emosi yang memuncak,” ungkapnya.

Perlu diketahui, saat ini Willy telah ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT dan ditahan sejak Jumat (17/11/2023). Lalu, bisakah proses hukum tersangka KDRT dihentikan karena korban menarik laporan ke polisi?

Penjelasan ahli hukum

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus pidana murni meskipun dikualifikasi (terjadi) dalam rumah tangga. Oleh karena itu menurut Fickar, seharusnya peradilan tetap dilaksanakan.

Fickar mengungkapkan, polisi berhak melanjutkan proses pidana terhadap tersangka KDRT meskipun korban yang mengalami kekerasan mencabut laporannya. Sebelum itu, saat menerima pencabutan laporan, pihak polisi akan menjelasakan ke korban jika aturan hukum kasus KDRT tetap berlaku meskipun laporannya dicabut.

“Hukuman pidana itu (diberikan) terhadap perbuatan dan akibatnya termasuk luka atau luka hati, jika mereka (korban) sudah berdamai (atau) luka hatinya sudah sembuh, maka perbuatan fisiknya tetap dipidana,” jelas Fickar kepada Kompas.com, Selasa (21/11/2023).

Namun di sisi lain, Fickar juga mengatakan, polisi bisa saja menghentikan proses pidana kepada tersangka KDRT.

“Tetapi jika korban serius (akan mencabut laporan dan menghentikan proses perkara KDRT), polisi akan menghentikan perkaranya,” lanjut dia.

Penghentikan proses pidana tersangka KDRT oleh polisi, tambah Fickar, biasanya dilakukan ketika korban meminta perkara dihentikan. Jika korban tidak merasa sakit, tidak berhalangan dalam pekerjaan, atau tidak ada hambatan kegiatan sehari-hari akibat kekerasan yang dilakukan pelaku, polisi bisa mengabulkan penghentian perkara tersebut.

Hukuman tersangka bisa lebih ringan

Di sisi lain, Fickar menjelaskan, tersangka KDRT bisa mendapat keringanan hukuman meskipun akhirnya korban batal menarik laporannya ke polisi jika korban memaafkan pelaku.

“Dengan pemaafan (dari korban) itu bisa mengurangi pidananya (tersangka) dan menjadi pertimbangan meringankan (hukuman),” kata dia.

Hal ini terjadi karena hakim dapat mempertimbangkan untuk memberikan keringanan kepada tersangka yang perbuatannya dimaafkan oleh korban. Adapun hal-hal yang meringankan hukuman pidana, di antaranya terdakwa dan korban melakukan perdamaian, terdakwa menyesali perbuatan, terdakwa melakukan perbaikan akibat tindak pidana seperti keadaan semula, atau terdakwa menyerahkan diri.

Sebaliknya, Fickar menyebutkan, hakim juga bisa memberatkan hukuman yang diberikan kepada tersangka jika menganggap ada hal-hal yang memberatkan pidahanya. Hal-hal memberatkan hukuman pidana, yaitu terdakwa tidak menyesali perbuatan, terdakwa menimbulkan penderitaan mendalam dan berkepanjangan kepada korban dan keluarganya, tindakan dilakukan secara sadis, dan merusak generasi muda.

Sementara itu, pelaku KDRT akan dijerat dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pelaku KDRT dari suami ke istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit, tidak menghalangi pekerjaan, atau tidak menghambat kegiatan sehari-hari akan dipidana penjara paling lama empat bulan atau denda maksimal Rp 5.000.000.

Pelaku yang melakukan kekerasan fisik akan dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp 15.000.000. Jika perbuatan KDRT mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda maksimal Rp 30.000.000. Sementara KDRT yang mengakibatkan korban meninggal, pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda maksimal Rp 45.000.000.

Pelaku yang melakukan kekerasan psikis akan dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda maksimal Rp 9.000.000. Jika kekerasan psikis dari suami ke istri atau sebaliknya tidak menyakiti, tidak menghalangi pekerjaan, atau tidak menghambat kegiatan sehari-hari, maka pelaku dipidana penjara paling lama empat bulan atau denda Rp 3.000.000.

sumber: kompas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + 7 =